Minggu, 23 Agustus 2009

Pengertian Apresiasi Arsitektur




Kata apesiasi berasal dari bahasa Inggris ‘appreciation’ dengan penterjemahan sebagai ‘appraisement’ (penilaian harga), ‘generous esteem’ (penghargaan yang sangat tinggi), ‘a symphatetic literary essay’ (karya tulis yang penuh perhatian), ‘increase in value’ (peningkatan nilai). Secara umum, apresiasi diterjemahkan sebagai penilaian atau penghargaan terhadap sesuatu. Jadi apresiasi arsitektur berarti : penilaian atau penghargaan terhadap arsitektur. Untuk dapat menilai dan menghargai arsitektur, tentunya perlu modal pengetahuan yang tidak sederhana. Ketidak sederhanaan pengetahuan ini setara dengan kerumitan yang melekat pada arsitektur itu sendiri. Selain ilmu, seseorang yang berapresiasi dengan arsitektur membutuhkan alat, yaitu segenap indera yang dimiliki dan paling memungkinkan untuk digunakan dalam menilai atau menghargai arsitektur.

Indera manusia yang berhubungan dengan arsitektur terbagi menjadi berbagai kelompok, yaitu indera pelihat, pendengar, pencium dan peraba. Dengan penglihatan dapat dirasakan nuansa ruang dan dinamisitas bentuk arsitektur, pendengaran dan penciuman turut serta memperkuat ke-khasan arsitektur, sedangkan perabaan selain memperjelas ketajaman tekstur juga untuk merasakan suhu dan kelembaban tertentu. Menikmati arsitektur tidak hanya dapat dilakukan dengan melihat gambar-gambar saja, namun perlu diserap ke dalam segenap budi dan daya tubuh hingga muncul berbagai apresiasi. Karena menyangkut budi daya manusia itulah maka sebuah karya arsitektur harus dapat diapresiasi unsur estetikanya.

Estetika merupakan salah satu faktor penting dalam perwujudan arsitektur yang telah diteliti oleh berbagai filsuf selama berabad-abad. Perdebatan mengenai estetika berkenaan dengan rasa akan keindahan. Sesuatu yang estetis juga memiliki konteks tertentu berkaitan dengan sudut pandang orang yang berapresiasi. Pandangan estetik dari masyarakat dalam lingkungan tropis tentu akan berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah dengan iklim 4 musim. Pandangan estetik dari masyarakat agraris juga akan berbeda dengan masyarakat industrialis. Setiap konteks memiliki cara tertentu dalam menampilkan estetika dan menrealisasikannya ke dalam sebuah karya. Karya realis yang paling mudah dirasakan adalah fenomena yang menyangkut bentuk.

Bentuk arsitektur dipahami sebagai wujud dari sebuah fenomena penciptaan tempat bagi manusia untuk berbudaya. Bentuk merupakan gubahan hasil pemikiran manusia dalam mengelola bahan alam sehingga menghasilkan perwujudan yang khas. Masyarakat primordial menggubah gua-gua alam menjadi tempat yang layak ditinggali. Masyarakat vernakular menggubah elemen alam dengan kesederhanaannya agar dapat digunakan sebagai pelingung kegiatan manusia, masyarakat tradisional memberi sentuhan adat dan budaya dari unsur alam dengan segala kebijakannya. Masyarakat modern melakukan inovasi teknologi untuk dapat mendayagunakan unsur alam menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam dunia modern yang kita alami sekarang, faktor industri telah mempengaruhi penciptaan karya arsitektur dengan segala keterukurannya. Berkembangnya keterukuran bentuk dari pengetahuan bangsa Yunani menghasilkan ilmu geometri yang berpengaruh besar bagi modernisasi.

Geometri adalah perayaan kemenangan manusia dalam menguasai bentuk. Segala rumusan dan keteraturan dapat dicari hingga menciptakan ketetapan yang mempermudah kegiatan manusia dalam berarsitektur. Degan adanya geometri, sebuah bentuk dapat dihitung hingga menghasilkan perwujudan yang dapat dipertanggung jawabkan secara struktural. Perhitungan struktur ini menyebabkan perkembangan teknologi yang menginovasi penciptaan bentuk arsitektur secara lebih radikal, baik dari skala dan bentangannya. Teknologi inilah yang membuat arsitektur pada saat ini tidak pernah terlepas dari logika struktur dan konstruksi, bahkan aktualisasi perpaduan antara struktur/konstruksi dan keindahan dalam bentuk tektonik menjadi sebuah pembahasan tersendiri yang cukup menarik.

Tektonika merupakan hasil budaya manusia dalam memahami arsitektur dan memadukannya dengan teknologi struktur dan konstruksi. Hunian bagi manusia diawali dengan memanfaatkan potensi alam dari gua-gua di pegunungan, kemudian perkembangan pengetahuannya menyebabkan manusia membuat tempat tinggal dengan dari bahan kayu maupun tanah. Semakin berkembangnya pengetahuan manusia menyebabkan budaya yang menyentuh elemen hunian dengan unsur estetika. Berbagai teknik sambungan konstruksi dan bentuk struktur ditemukan hingga memperkaya kazhanah arsitektur di dunia. Terciptalah bentuk-bentuk arsitektur dengan keanekaragamannya. Bentuk tersebut mewujudkan pernaungan yang bukan hanya sekedar layak untuk ditinggali, namun lebih dari itu juga mampu meningkatkan harkat kehidupan manusia dalam berbudaya. Bentuk-bentuk tersebut telah memberi manusia tempat dalam melakukan kehidupan sehari-hari yang disebut dengan ‘ruang’.

Ruang adalah materi yang dapat berpadu dengan kegiatan manusia. Materi yang tidak dapat berpadu disebut sebagai ‘batas ruang’ (enclosure). Setiap ruang yang dibuat akan memiliki karakteristik tertentu. Budaya manusia telah menetapkan ruang dalam penggolongan dan pemahamannya sendiri. Ruang bagi masyarakat empat musim dipandang sebagai sebuah kekosongan yang diciptakan tersendiri agar manusia dapat beraktifitas tanpa terganggu ganasnya alam. Ruang bagi masyarakat dua musim merupakan pengejawantahan rasa syukur dan lebur dengan alam semesta. Kebudayaan telah membawa manusia memahami ruang dengan pikir dan rasa yang tinggi, bahkan kebudayan tersebut telah menciptakan arti tersendiri dari arsitektur yang dipahami dengan keberadaan ‘makna’.

Makna arsitektur dicari dalam proses perancangan dan diungkapkan dalam pembicaraan yang penuh perhatian. Perhatian ini secara khusus terlingkup dalam paham fenomenologi, di mana sebuah proses perancangan dibawa kepada ekspresi murni yang menggambarkan arti konsep esensi dan formula yang mengaturnya. Esensi membuat arsitektur dapat dikenali dalam intuisi yang berhubungan dengan akar murni dalam realisme pembuktian diri yang asli. Aktualisasinya dengan cara ‘membuat kembali’ dan ‘kembali kepada basis’. Paham fenomenologi ternyata bukanlah satu-satunya tolok ukur dalam menilai kebenaran arsitektur. Beberapa paham lain juga perlu dipelajari agar apresiasi dapat berjalan secara obyektif. Paham-paham tersebut dalam sejarah telah mengisi berbagai pemikiran dunia tentang arsitektur yang terdefinisikan melaui ebrbagai filsafat.

Filsafat merupakan sebuah ilmu pengetahuan kuno yang telah dikembangkan sejak beberapa abad sebelum masehi. Banyak filsuf menghasilkan pemikiran-pemikiran yang mempengaruhi pengambilan keputusan, termasuk di dalam arsitektur. Sejak awal perkembangannya pemahaman tentang arsitektur dipengaruhi filsafat tradisional barat, kemudian dalam era modern muncul filsafat-filsafat baru yang cukup deras. Paham rasionalis mempengaruhi cara pandang terhadap arsitektur agar dapat terwujud dengan logika. Paham empiris merupakan pemikiran yang mengarahkan arsitektur agar dapat terwujud dari keberhasilan kegiatan percobaan. Paham strukturalis berusaha mencari kembali makna kehadiran arsitektur sebagai sebuah sistem. Paham pragmatis menetapkan bahwa arsitektur selayaknya dibuat berdasarkan model. Paham fenomenologi memandang pengalaman sebagai aspek penting dalam berarsitektur. Paham intuitif melihat pentingnya rasa dari seorang arsitek dalam mewujudkan karya. Setiap paham memiliki sudut pandang tersendiri dalam menilai dan mewujudkan arsitektur. Paham-pahm tersebut berguna sebagai pegangan dalam menilai karya arsitektur baik dariperwujudannya maupun konsepnya. Perwujudan merupakan aspek teraga (tangibe), sedagkan konsep merupakan aspek yang tidak teraga (intangible).

Aspek tangible dan intangible telah mewarnai perwujudan arsitektur berdasarkan sudut pandang yang digunakan oleh arsitek. Seseorang yang ingin berapresiasi dengan karya arsitek tertentu selayaknya menempatkan diri dalam sudut pandang yang sama dengan arsitektnya. Seorang arsitek yang menghasilkan karya dengan aspek tangible dalam sudut pandang struktural tentu tidak akan dapat diapresiasi oleh seseorang dengan penilaian intangible yang berada dalam sudut pandang eksotisme. Seseorang yang selalu berapresiasi dengan penilaian intangible dalam sudut pandang paradoksial (perlawanan azas) juga tidak akan pernah dapat melakukan apresiasi secara tepat pada karya arsitektur yang menggunakan aspek tangible olah geometri. Demikianlah pentingnya sudut pandang sebagai konteks yang harus dipegang secara bersama antara karya arsitektur dan orang yang berapresiasi dengannya. Setiap orag memiliki pemikiran tersndiri dalam menilai yang dipengaruhi oleh pandangan-pandangan tertentu. Segenap pandangan manusia terjabarkan dalam permasalahan yangmenyakngkut ‘persepsi’.

Persepsi adalah proses memperoleh atau menerima informasi dari lingkungan. Persepsi dari sebuah apresiasi arsitektur tidak hanya terpengaruh indera manusia, namun juga penafsiran pengalamnnya (the interpretation of experience). Ketika seseorang berapresiasi dengan arsitektur, maka secara psikologis terjadi sebuah stimulus (rangsangan). Individu menjadi sadar akan adanya stimuli melalui sel saraf reseptor (indera). Jika sejumlah penginderaan dikoordinasikan dalam pusat saraf yang lebih tinggi (otak) maka manusia bisa mengenali dan berapresiasi dengan sebuah obyek arsitektur. Dalam proses pemikiran yang lebih lanjut individu akan mencari hubungan obyek dengan suatu gejala atau peristiwa. Seseorang yang berapresiasi dengan hasil karya arsitek perlu untuk memiliki persepsi yang sama dari hasil pembelajaran pengalaman-pegalaman manusia. Keselarasan persepsi itulah yang akan menjadi tolok ukur keberhasilan desain arsitektur. Jika persepsi tidak selaras, maka bisa dimungkinkan tujuan desain akan berbeda dengan segala sesuatu yang dialami oleh penguna. Untuk menilai pengalaman perseptual dan berbagai fenomena arsitektur lainnya perlu dilakukan pembelajaran melalui evaluasi karya arsitektur yang telah digunakan.

Evaluasi terhadap karya arsitektur yang telah dipakai biasa disebut dengan ‘post occupancy evaluation’ (evaluasi pasca huni). Kegiatan ini didefinisikan sebagai pengujian efektifitas sebuah lingkungan binaan bagi kebutuhan manusia. Pengujian dalam evaluasi pasca huni diarahkan pada penilaian terhadap efektifitas arsitekturnya sendiri maupun efektifitas program dan tujuan dirancangnya arsitektur etrhadap kebutuhan pengguna. Kegiatan yang menyangkut evaluasi pasca huni dapat berupa eksperimen, studi lapangan, studi teoritis dan penelitian aplikatif.




1 komentar:

  1. Terima Kasih atas informasinya , sangat bermanfaat sekali bagi saya yang sedang menuntut ilmu di Jurusan Arsitektur ^^

    BalasHapus