Stuart Pugh (1966) menyebutkan bahwa dari sekian banyak persyaratan yang harus diperhitungkan dalam proses desain, maka faktor estetika termasuk dimensi yang diangap penting. Faktor tersebut menjadi daya tarik konsumen/klien karena mampu memenuhi selera dan kepuasan emosional. Teori estetika bertolak pada asumsi agar sebuah karya bentuk dapat menghasilkan sensasi yang menyenangkan. Rasa estetika didasarkan pada elemen dan prinsip yang dijabarkan dalam dua kategori, yaitu ‘perbendaharaan desain’ dan ‘elemen pendukung’. ‘Perbendaharan desain’ terdiri atas unsur-sunsur : titik, garis, bidang, bentuk, tekstur, pola, warna, cahaya, nada dan proporsi.
Titik merupakan sebuah bentuk yang dilihat dari skalanya pada posisi terkecil. Sebuah bentuk kotak, lingkaran dan lain-lain dapat dianggap sebagai titik jika diperbandingkan dengan bentuk lain yang lebih luas, di mana perbandingan tersebut menyebabkan bentuk yang dianggap sebagai titik hampir tidak terbaca jelas sosoknya. Kehadiran sebuah titik dalam desain mempertegas sesuatu yang menyita perhatian dan menjadi fokus. Perletakan beberapa titik dalam sebuah bidang dapat mempertinggi dinamisitas. Beberapa titik yang cukup banyak bahkan mampu membuat warna bidang menjadi berubah. Pengaturan perletakan beberapa titik dapat menimbulkan kesan tiga dimensional, seperti melengkung, bertekstur dan sebagainya. Beberapa titik yang diletakkan dalam pola beraturan akan mengimajinasikan sebuah bentuk tertentu. Dua buah titk yang diletakkan pada sebuah bidang akan mengimajinasikan adanya hubungan hingga membentuk sebuah garis.
Garis merupakan jajaran dari titik-titik dengan dua jenis tampilan, yaitu lurus dan lengkung. Sebuah bentuk akan disebut sebagai garis jika memiliki panjang yang berbanding sangat besar dengan lebarnya. Perbandingan panjang dan lebar dengan ukuran 1:2 masih disebut sebagai bidang, jika diteruskan menjadi 1:5 sampai lebih dari 1:10 akan tercipta sebuah garis. Sebuah bentuk yang disebut garis pada akhirnya akan megabaikan lebarnya dan mengutamakan panjangnya. Lebar dari garis hanya akan dipandang dalam perbedaan tampilan sebagai garis tebal atau tipis saja. Kehadiran sebuah garis di dalam desain akan menimbulkan kesan orientasi. Desain dapat tampil dengan goresan garis tegak, datar, miring dan lain-lain. Sebuah garis juga dapat memiliki jenis goresan seperti garis utuh, putus-putus, titik-putus dan sebagainya. Garis lengkung berkesan lembut/lemah, sedangkan garis lurus berkesan kaku/kuat. Garis lurus terukur dari panjangnya, sedangkan garis lengkung selain panjang juga memiliki jari-jari. Secara tiga dimensional sebuah garis terwakili dengan bentuk yang disebut sebagai ‘batang’. Kehadiran dari dua buah garis dapat memiliki posisi yang sejajar, tidak sejajar dan bersilangan. Kehadiran dari tiga buah garis yang saling berhubungan ujung-ujungnya merupakan dasar bagi penciptaan sebuah bidang.
Bidang merupakan jajaran dari beberapa garis, di mana garis yang berjajar tersebut dapat konstan memiliki panjang sama atau berubah beraturan menjadi lebih pendek/panjang. Sebuah jajaran garis tegak lurus yang memiliki panjang konstan akan menghasilkan bidang segi empat. Jajaran garis miring yang memiliki panjang konstan akan menghasilkan bidang jajaran genjang. Jajaran garis yang berubah secara berangsur hingga menjadi titik akan menghasilkan bidang segitiga. Garis yang berjajar secara berangsur bertambah panjang/pendek hingga sampai ukuran tertentu akan menghasilkan bentuk trapesium. Bidang kosong dapat tampil dengan garis-garis sebagai pembatasnya dan lebih mudah ditampilkan dengan menggaris outline-nya. Outline tersebut bahkan memiliki rumus hingga dapat menghasilkan ilmu geometri poligonal. Secara tiga dimensional kehadiran bidang yang memiliki tebal disebut dengan ‘lempeng’. Jika ketebalannya demikian besar hingga membentuk massa, maka bentuk itu akan disebut sebagai ‘pukal’. Permukaan dari sebuah bidang juga memiliki prinsip yang sama dengan garis, yaitu bidang lurus dan bidang lengkung. Kelengkungan bidang yang jari-jarinya tetap dapat menerus hingga kembali pada awal bidang dan membentuk silinder/tabung. Kelengkungan bidang juga dapat berbalik arah hingga membentuk lempeng seperti huruf ‘S’. Dalam tataran tertentu kelengkungan bidang ini perlu dibatasi skalanya dan dibedakan hingga tidak terlalu kecil dan banyak hingga membentuk sebuah ‘tekstur’.
Tekstur merupakan tampilan permukaan dari sebuah bidang yang menimbulkan kesan tertentu seperti kasar, halus, licin, mengkilap dan lain-lain. Untuk dapat berapresiasi dengan tekstur perlu digunakan indera panglihatan dan peraba (mata dan kulit). Ada dua jenis tekstur, pertama adalah ‘tactile texture’ yang bersifat nyata tiga dimensional, kedua adalah ‘visual texture’ yang hanya berupa gambar tekstur dua dimensional. Eksistensi tekstur berhubungan dengan memori terhadap bahan hingga dapat mempengaruhi kesan dari manusia yang mengamatinya. Bentuk yang diberi tekstur anyaman akan berkesan ringan, sedangkan jika diberi tekstur batu akan berkesan berat. Tekstur yang halus lembut berkesan feminim dan yang kasar berkesan maskulin. Tekstur yang rapi dan licin berkesan ‘high tech’/fabrication dan yang kasar tak beraturan berkesan vernakular/human made. Tekstur juga dapat tampil dengan tatanan yang beraturan, namun demikian keberaturannya perlu dibatasi hingga tidak merubah pembahasan menjadi kategori ‘pola’.
Pola merupakan aturan yang bersifat dekoratif repetitif dari penampilan bentuk atau motif. Ada tiga macam pola, yaitu grid, radial dan kurvalinier. Pola grid terbentuk dari deretan garis sejajar yang bersilangan tegak lurus, pola radial terbentuk dari deretan garis lengkung sejajar dengan orientasi pada titik pusat lingkaran, pola kurvalinier merupakan penggabungan dari beberapa garis lengkung yang membentuk keteraturan. Penampilan pola dalam sebuah bentuk bukan hanya dipengaruhi faktor estetika saja, namun juga faktor budaya, struktur dan guna. Sebuah pola dapat ditampilkan dengan bentuk 3 dimensional berupa pahatan/ukiran serta dapat pula ditampilkan pada bentuk 2 dimensional dengan penggambaran hitam-putih dan penggunaan warna.
Warna merupakan uraian spektrum yang terbias dari karakteristik benda yang terkena cahaya hingga terbaca oleh mata manusia. Warna hanya bisa diapresiasi jika ada cahaya/penerangan, di mana eksistensinya juga terpengaruhi oleh kekuatan dan warna dari cahaya itu sendiri. Tampilan wana biru dari sebuah benda jika terkena cahaya berwarna kuning akan memunculkan benda menjadi berwarna hijau, jika cahaya itu cukup redup warna benda menjadi lebih tua hingga kehitaman. Warna dapat ditampilkan sesuai dengan intensitas/kekuataannya dari yang tajam hingga kabur. Berbagai riset tentang warna menghasilkan penemuan-penemuan yang menggolongkan warna menjadi dua bagian, yaitu warna benda dan warna cahaya. Dalam era modern, bahan untuk eksplorasi warna benda menggunakan cat, sedang untuk eksplorasi warna cahaya menggunakan lampu warna-warni. Masyarakat vernakular dan tradisional memilliki makna tersendiri dalam megapresiasi warna. Budaya yang berbeda akan menghasilkan apresiasi yang berbeda pula. Sebagai contoh, warna hitam dalam budaya Barat ditujukan untuk mengekspresikan kesedihan, sedang masyarakat Batak justru memaknai warna hitam sebagai ekspresi dari aspek kebangsawanan. Masyarakat kuno memahami kehadiran warna dalam komunikasi yang mulak tanpa pengaruh warna cahaya lampu. Segenap tampilan warna akan terbaca dan berkesan sama hanya dengan satu sumber penerangan, yaitu dari cahaya matahari.
Cahaya merupakan energi yang membantu apresiasi terhadap bentuk di dalam penglihatan. Sebuah karya bentuk dapat diapresiasi oleh mata melalui pengaturan pencahayaan. Optimalisasi tampilan bentuk tersebut terpengaruhi besarnya intensitas cahaya, jauh-dekatnya, bentuk biasnya serta arah datangnya. Ada dua sumber cahaya, pertama adalah cahaya alami dari matahari, kedua adalah cahaya lampu. Cahaya lampu terwujud menjadi beberapa jenis dari vernakular sampai modern dengan dampak nuansa yang ditimbulkannya masing-masing. Hasil cahaya dari obor tentu akan membawa nuansa yang berbeda dengan sumber cahaya lampu elektronik. Cahaya juga membawa dampak lain yang berwujud naungan dan bayangan. Naungan adalah sisi benda yang tidak terkena cahaya, sedang bayangan adalah sisi yang terkena cahaya tetapi tertutupi oleh benda. Naungan dan bayangan membawa dampak yang menyenangkan terhadap spasialitas (kemeruangan) sebuah karya bentuk. Dinamisitas penonjolan/perlubangan sebuah benda yang terkena cahaya dapat terbaca secara rasional dalam sebuah nada terang-gelap.
Nada dalam arsitektur adalah tampilan permukaan benda yang dipengaruhi unsur warna hitam dan putih. Sebuah tekstur atau warna dari benda dapat tampil dengan nada putih, nada hitam dan nada netral. Nada netral adalah penampilan sebenar-benarnya dari sebuah benda, sedang nada hitam akan menjadikan benda semakin kelam, warna putih akan menjadikan benda semakin pucat. Suatu nada benda dapat tercipta dengan kekuatan cahaya yang menyinari, pelapisan elemen transparan dan percampuran bahannya. Sebuah tekstur anyaman bambu dapat terlihat lebih gelap/terang dengan cahaya yang menyinarinya, dapat terlihat lebih kabur jika terlapisi kaca buram dan dapat terlihat lebih gelap jika dipernis/pelitur. Sebuah warna hijau yang tajam dapat kelamkan nadanya dengan mencampur cat hitam dan dapat pula dipucatkan dengan mencampur cat putih. Tentunya penampilan nada dari bagian-bagian di sebuah karya bentuk ditetapkan dalam sebuah konsep dan tujuan tertentu. Pengaturan ini selayaknya didesain dengan pertimbangan agar dapat tampil secara proporsional.
Proporsi merupakan perbandingan antara satu benda dengan benda yang lain dalam satu kesatuan komposisi, sedangkan skala merupakan perbandingan antara benda dengan manusia. Perbandingan benda bukan saja dari ukurannya, namun juga dari karakter lain seperti warna, dinamika bentuk dan tekstur. Sebuah karya bentuk akan dianggap proporsional jika memiliki perbandingan tertentu yang disepakati oleh masyarakat tertentu pula. Masyarakat Barat mengenal ‘golden section’ sebagai acuan keindahan proporsi, sedang masyarakat nusantara merupakan salah satu komunitas yang memiliki budaya proporsi dengan ukuran dari pustaka tradisional. Penentuan proporsi secara tradisional bahkan lebih bervariasi karena mengunakan standar metrik yang tidak baku/global, yakni dengan ukuran bagian tubuh manusia tertentu (panjang lengan, tapak kaki dan lain-lain). Terlepas dari budaya tersebut, sebuah proporsi dapat ditentukan berdasarkan tujuan desainnya. Jika memang ditujukan untuk berkesan jangkung, maka proporsinya dapat dibuat meninggi. Jika memang ditujukan untuk berkesan pendek, maka proporsinya dapat dibuat merendah. Konsep tampilan karya bentuk dan konsistensi pengambilan keputusan tampilannya menjadi acuan bagi perwujudan desain yang berkualitas.
Senin, 28 September 2009
Langganan:
Postingan (Atom)