Stuart Pugh (1966) menyebutkan bahwa dari sekian banyak persyaratan yang harus diperhitungkan dalam proses desain, maka faktor estetika termasuk dimensi yang diangap penting. Faktor tersebut menjadi daya tarik konsumen/klien karena mampu memenuhi selera dan kepuasan emosional. Teori estetika bertolak pada asumsi agar sebuah karya bentuk dapat menghasilkan sensasi yang menyenangkan. Rasa estetika didasarkan pada elemen dan prinsip yang dijabarkan dalam dua kategori, yaitu ‘perbendaharaan desain’ dan ‘elemen pendukung’. ‘Perbendaharan desain’ terdiri atas unsur-sunsur : titik, garis, bidang, bentuk, tekstur, pola, warna, cahaya, nada dan proporsi.
Titik merupakan sebuah bentuk yang dilihat dari skalanya pada posisi terkecil. Sebuah bentuk kotak, lingkaran dan lain-lain dapat dianggap sebagai titik jika diperbandingkan dengan bentuk lain yang lebih luas, di mana perbandingan tersebut menyebabkan bentuk yang dianggap sebagai titik hampir tidak terbaca jelas sosoknya. Kehadiran sebuah titik dalam desain mempertegas sesuatu yang menyita perhatian dan menjadi fokus. Perletakan beberapa titik dalam sebuah bidang dapat mempertinggi dinamisitas. Beberapa titik yang cukup banyak bahkan mampu membuat warna bidang menjadi berubah. Pengaturan perletakan beberapa titik dapat menimbulkan kesan tiga dimensional, seperti melengkung, bertekstur dan sebagainya. Beberapa titik yang diletakkan dalam pola beraturan akan mengimajinasikan sebuah bentuk tertentu. Dua buah titk yang diletakkan pada sebuah bidang akan mengimajinasikan adanya hubungan hingga membentuk sebuah garis.
Garis merupakan jajaran dari titik-titik dengan dua jenis tampilan, yaitu lurus dan lengkung. Sebuah bentuk akan disebut sebagai garis jika memiliki panjang yang berbanding sangat besar dengan lebarnya. Perbandingan panjang dan lebar dengan ukuran 1:2 masih disebut sebagai bidang, jika diteruskan menjadi 1:5 sampai lebih dari 1:10 akan tercipta sebuah garis. Sebuah bentuk yang disebut garis pada akhirnya akan megabaikan lebarnya dan mengutamakan panjangnya. Lebar dari garis hanya akan dipandang dalam perbedaan tampilan sebagai garis tebal atau tipis saja. Kehadiran sebuah garis di dalam desain akan menimbulkan kesan orientasi. Desain dapat tampil dengan goresan garis tegak, datar, miring dan lain-lain. Sebuah garis juga dapat memiliki jenis goresan seperti garis utuh, putus-putus, titik-putus dan sebagainya. Garis lengkung berkesan lembut/lemah, sedangkan garis lurus berkesan kaku/kuat. Garis lurus terukur dari panjangnya, sedangkan garis lengkung selain panjang juga memiliki jari-jari. Secara tiga dimensional sebuah garis terwakili dengan bentuk yang disebut sebagai ‘batang’. Kehadiran dari dua buah garis dapat memiliki posisi yang sejajar, tidak sejajar dan bersilangan. Kehadiran dari tiga buah garis yang saling berhubungan ujung-ujungnya merupakan dasar bagi penciptaan sebuah bidang.
Bidang merupakan jajaran dari beberapa garis, di mana garis yang berjajar tersebut dapat konstan memiliki panjang sama atau berubah beraturan menjadi lebih pendek/panjang. Sebuah jajaran garis tegak lurus yang memiliki panjang konstan akan menghasilkan bidang segi empat. Jajaran garis miring yang memiliki panjang konstan akan menghasilkan bidang jajaran genjang. Jajaran garis yang berubah secara berangsur hingga menjadi titik akan menghasilkan bidang segitiga. Garis yang berjajar secara berangsur bertambah panjang/pendek hingga sampai ukuran tertentu akan menghasilkan bentuk trapesium. Bidang kosong dapat tampil dengan garis-garis sebagai pembatasnya dan lebih mudah ditampilkan dengan menggaris outline-nya. Outline tersebut bahkan memiliki rumus hingga dapat menghasilkan ilmu geometri poligonal. Secara tiga dimensional kehadiran bidang yang memiliki tebal disebut dengan ‘lempeng’. Jika ketebalannya demikian besar hingga membentuk massa, maka bentuk itu akan disebut sebagai ‘pukal’. Permukaan dari sebuah bidang juga memiliki prinsip yang sama dengan garis, yaitu bidang lurus dan bidang lengkung. Kelengkungan bidang yang jari-jarinya tetap dapat menerus hingga kembali pada awal bidang dan membentuk silinder/tabung. Kelengkungan bidang juga dapat berbalik arah hingga membentuk lempeng seperti huruf ‘S’. Dalam tataran tertentu kelengkungan bidang ini perlu dibatasi skalanya dan dibedakan hingga tidak terlalu kecil dan banyak hingga membentuk sebuah ‘tekstur’.
Tekstur merupakan tampilan permukaan dari sebuah bidang yang menimbulkan kesan tertentu seperti kasar, halus, licin, mengkilap dan lain-lain. Untuk dapat berapresiasi dengan tekstur perlu digunakan indera panglihatan dan peraba (mata dan kulit). Ada dua jenis tekstur, pertama adalah ‘tactile texture’ yang bersifat nyata tiga dimensional, kedua adalah ‘visual texture’ yang hanya berupa gambar tekstur dua dimensional. Eksistensi tekstur berhubungan dengan memori terhadap bahan hingga dapat mempengaruhi kesan dari manusia yang mengamatinya. Bentuk yang diberi tekstur anyaman akan berkesan ringan, sedangkan jika diberi tekstur batu akan berkesan berat. Tekstur yang halus lembut berkesan feminim dan yang kasar berkesan maskulin. Tekstur yang rapi dan licin berkesan ‘high tech’/fabrication dan yang kasar tak beraturan berkesan vernakular/human made. Tekstur juga dapat tampil dengan tatanan yang beraturan, namun demikian keberaturannya perlu dibatasi hingga tidak merubah pembahasan menjadi kategori ‘pola’.
Pola merupakan aturan yang bersifat dekoratif repetitif dari penampilan bentuk atau motif. Ada tiga macam pola, yaitu grid, radial dan kurvalinier. Pola grid terbentuk dari deretan garis sejajar yang bersilangan tegak lurus, pola radial terbentuk dari deretan garis lengkung sejajar dengan orientasi pada titik pusat lingkaran, pola kurvalinier merupakan penggabungan dari beberapa garis lengkung yang membentuk keteraturan. Penampilan pola dalam sebuah bentuk bukan hanya dipengaruhi faktor estetika saja, namun juga faktor budaya, struktur dan guna. Sebuah pola dapat ditampilkan dengan bentuk 3 dimensional berupa pahatan/ukiran serta dapat pula ditampilkan pada bentuk 2 dimensional dengan penggambaran hitam-putih dan penggunaan warna.
Warna merupakan uraian spektrum yang terbias dari karakteristik benda yang terkena cahaya hingga terbaca oleh mata manusia. Warna hanya bisa diapresiasi jika ada cahaya/penerangan, di mana eksistensinya juga terpengaruhi oleh kekuatan dan warna dari cahaya itu sendiri. Tampilan wana biru dari sebuah benda jika terkena cahaya berwarna kuning akan memunculkan benda menjadi berwarna hijau, jika cahaya itu cukup redup warna benda menjadi lebih tua hingga kehitaman. Warna dapat ditampilkan sesuai dengan intensitas/kekuataannya dari yang tajam hingga kabur. Berbagai riset tentang warna menghasilkan penemuan-penemuan yang menggolongkan warna menjadi dua bagian, yaitu warna benda dan warna cahaya. Dalam era modern, bahan untuk eksplorasi warna benda menggunakan cat, sedang untuk eksplorasi warna cahaya menggunakan lampu warna-warni. Masyarakat vernakular dan tradisional memilliki makna tersendiri dalam megapresiasi warna. Budaya yang berbeda akan menghasilkan apresiasi yang berbeda pula. Sebagai contoh, warna hitam dalam budaya Barat ditujukan untuk mengekspresikan kesedihan, sedang masyarakat Batak justru memaknai warna hitam sebagai ekspresi dari aspek kebangsawanan. Masyarakat kuno memahami kehadiran warna dalam komunikasi yang mulak tanpa pengaruh warna cahaya lampu. Segenap tampilan warna akan terbaca dan berkesan sama hanya dengan satu sumber penerangan, yaitu dari cahaya matahari.
Cahaya merupakan energi yang membantu apresiasi terhadap bentuk di dalam penglihatan. Sebuah karya bentuk dapat diapresiasi oleh mata melalui pengaturan pencahayaan. Optimalisasi tampilan bentuk tersebut terpengaruhi besarnya intensitas cahaya, jauh-dekatnya, bentuk biasnya serta arah datangnya. Ada dua sumber cahaya, pertama adalah cahaya alami dari matahari, kedua adalah cahaya lampu. Cahaya lampu terwujud menjadi beberapa jenis dari vernakular sampai modern dengan dampak nuansa yang ditimbulkannya masing-masing. Hasil cahaya dari obor tentu akan membawa nuansa yang berbeda dengan sumber cahaya lampu elektronik. Cahaya juga membawa dampak lain yang berwujud naungan dan bayangan. Naungan adalah sisi benda yang tidak terkena cahaya, sedang bayangan adalah sisi yang terkena cahaya tetapi tertutupi oleh benda. Naungan dan bayangan membawa dampak yang menyenangkan terhadap spasialitas (kemeruangan) sebuah karya bentuk. Dinamisitas penonjolan/perlubangan sebuah benda yang terkena cahaya dapat terbaca secara rasional dalam sebuah nada terang-gelap.
Nada dalam arsitektur adalah tampilan permukaan benda yang dipengaruhi unsur warna hitam dan putih. Sebuah tekstur atau warna dari benda dapat tampil dengan nada putih, nada hitam dan nada netral. Nada netral adalah penampilan sebenar-benarnya dari sebuah benda, sedang nada hitam akan menjadikan benda semakin kelam, warna putih akan menjadikan benda semakin pucat. Suatu nada benda dapat tercipta dengan kekuatan cahaya yang menyinari, pelapisan elemen transparan dan percampuran bahannya. Sebuah tekstur anyaman bambu dapat terlihat lebih gelap/terang dengan cahaya yang menyinarinya, dapat terlihat lebih kabur jika terlapisi kaca buram dan dapat terlihat lebih gelap jika dipernis/pelitur. Sebuah warna hijau yang tajam dapat kelamkan nadanya dengan mencampur cat hitam dan dapat pula dipucatkan dengan mencampur cat putih. Tentunya penampilan nada dari bagian-bagian di sebuah karya bentuk ditetapkan dalam sebuah konsep dan tujuan tertentu. Pengaturan ini selayaknya didesain dengan pertimbangan agar dapat tampil secara proporsional.
Proporsi merupakan perbandingan antara satu benda dengan benda yang lain dalam satu kesatuan komposisi, sedangkan skala merupakan perbandingan antara benda dengan manusia. Perbandingan benda bukan saja dari ukurannya, namun juga dari karakter lain seperti warna, dinamika bentuk dan tekstur. Sebuah karya bentuk akan dianggap proporsional jika memiliki perbandingan tertentu yang disepakati oleh masyarakat tertentu pula. Masyarakat Barat mengenal ‘golden section’ sebagai acuan keindahan proporsi, sedang masyarakat nusantara merupakan salah satu komunitas yang memiliki budaya proporsi dengan ukuran dari pustaka tradisional. Penentuan proporsi secara tradisional bahkan lebih bervariasi karena mengunakan standar metrik yang tidak baku/global, yakni dengan ukuran bagian tubuh manusia tertentu (panjang lengan, tapak kaki dan lain-lain). Terlepas dari budaya tersebut, sebuah proporsi dapat ditentukan berdasarkan tujuan desainnya. Jika memang ditujukan untuk berkesan jangkung, maka proporsinya dapat dibuat meninggi. Jika memang ditujukan untuk berkesan pendek, maka proporsinya dapat dibuat merendah. Konsep tampilan karya bentuk dan konsistensi pengambilan keputusan tampilannya menjadi acuan bagi perwujudan desain yang berkualitas.
Senin, 28 September 2009
Senin, 31 Agustus 2009
Bentuk Arsitektur
Terdapat perbedaan anatara kemajuan pencapaian karya berdasarkan perkembangan kehidupan di Barat, Asia dan Nusantara. Negara barat cenderung rasionalis, sedang negara timur cenderung spiritual, dan khusus nusantara menggabungkan antara unsur spiritual dan penghargaan terhadap kemurahan alam. Dengan demikian, bentuk arsitektur sangat beragam sesuai dengan latar belakang penciptaannya. Setiap bentuk yang diciptakan oleh manusia terpengaruhi oleh alam dan budayanya. Di sisi lain, manusia sendiri sebenarnya merupakan makhluk yang termasuk sebuah bentuk alami. Oleh karena itu pula manusia pada awal penciptaan bentuk terhubung dan terpengaruhi oleh alam. Walau demikian kreatifitas manusia pada awal penciptaan bentuk ini tidak menghasilkan bentuk yang sama persis dengan alam. Justru ketika manusia mulai kehilangan hubungan mental dengan alam, maka bentuk mulai diciptakan dengan segenap pendayagunaan intelektualnya. Hal ini mengakibatkan munculnya doktrin, rumusan dan teori estetika yang mencapai keburukannya dengan bentuk-bentuk dekoratif superfisial dan imitatif. Selanjutnya teknologi yang dimiliki manusia semakin bertambah, dan mengakibatkan perwujudan bentuk juga berubah. Pemahaman manusia untuk menyadari hakikat dari bentuk menghasilkan kreatifitas-kreatifitas baru yang memukau di dalam karya bentuk.
Pemahaman tentang bentuk merupakan aktualisasi dari kegiatan analisis terhadap bentuk. Kegiatan ini dapat dimulai dengan mengambil contoh bentuk yang paling sempurna di alam semesta sebagai hasil karya Sang pencipta. Contoh bentuk alam yang mudah diambil adalah sebuah bunga. Bunga yang yang sederhana merupakan interpretasi bentuk yang menyatakan komunikasinya dengan semesta. Bunga merupakan benda transisi kosmis yang berhubungan dengan matahari, hujan, angin, dan lain-lain. Bentuk bunga mencerminkan upayanya menetapkan kekuatan diri secara fisik untuk kehidupan. Bentuk bunga juga mengekspresikan hubungannya dengan makhluk alam lain seperti burung, serangga dan termasuk juga manusia.
Manusia berapresiasi dengan bentuk menggunakan indera fisik dan eksistensi mentalnya. Oleh karena itu selayaknya perwujudan bentuk oleh manusia juga membawa sifat fisik dan mental. Dalam mengapresiasi bentuk, manusia memiliki kemampuan intelektual dan intuisi. Kemampuan ini memiliki sifat yang berbanding terbalik, artinya jika intelektual kuat, maka intuisi melemah, dan demikian pula sebaliknya. Agar dapat menghasilkan bentuk yang baik, manusia perlu mendayagunakan dua kekuatan yang berseberangan ini untuk berkarya dan berapresiasi. Dunia yang serba rasional telah banyak mengunggulkan intelektualitas, padahal di sisi lain terdapat potensi intuisi, naluri dan imajinasi. Intuisi berguna untuk menyatakan hubungan dengan realita dasar dan kebenaran. Naluri berguna untuk merekam aspek mental kehidupan. Imajinasi berguna untuk menghasilkan ide dan gambaran mental melalui pengembangan fantasi. Demikian besarnya potensi manusia hingga penciptaan karya bentuknya yang paling optimal dapat berpengaruh terhadap ruang dan waktu.
Daya cipta manusia terhadap waktu dipengaruhi pemahaman terhadap masa lalu, kini dan yang akan datang. Masa lalu dan kini adalah rentang waktu yang bisa dipahami, tetapi tidak demikian dengan masa yang akan datang. Penelusuran bentuk dipahami sebagai hasil dari perjalanan hidup di masa kini dan pebelajaran dari masa lalu. Masa depan hanyalah gambaran maya yang baru dapat dirasakan ketika manusia menjalani waktu. Saat menjalani waktu itulah, masa depan menjadi masa kini. Arsitektur merupakan salah satu contoh karya bentuk yang dapat digunakan untuk memahami rentang waktu tersebut. Arsitektur percandian merupakan hasil perjalanan hidup di masa kerajaan kuno, arsitektur jengki juga merupakan hasil perjalanan hidup di masa pasca kemerdekaan. Masyarakat dan arsitek lebih dapat berapresiasi dengan bentuk sesuai jamannya saat manusia menggali pengetahuan dan memperkaya pemahamannya dengan permasalahan di masa kini. Memahami azas bentuk di masa kini adalah tolok ukur penting bagi keberhasilan penciptaan karya.
Memahami penciptaan bentuk ditujukan untuk dapat menghasilkan karya yang berkualitas. Tolok ukur kualitas yang baik dari sebuah karya bentuk adalah hasil ekplorasi dari penggalian nilai moral dan nilai kreatif. Pengalian tersebut mengacu pada tujuan bagi tercapainya kebenaran bentuk. Sebuah kebenaran bentuk berhubungan dengan ekspresi manusia yang mewujudkanya. Hubungan antara ekspresi dan maksud tampilan bentuk inilah yang menjadi tinjauan untuk menancapkan karakter dan rasa. Nilai masyarakat yang berupaya memahami kualitas kedalaman kehidupan dan tingginya kebutuhan spiritual akan menghasilkan karya-karya bentuk yang mencerminkan keagungan alam. Sebaliknya nilai masyarakat yang berupaya untuk mempertingi eksistensi komersialpun juga akan dapat tampil dalam perwujudan karya bentuk yang efisien, efektif, trendy dan popular. Menjadi tidak benar jika pencipta bentuk yang memegang prinsip nilai komersial kemudian mewujudkan bentuk apa adanya yang ditujukan untuk ekspresi tingginya kehidupan dan spiritual dalam representasi keagungan alam. Pegangan dari kebenaran penciptaan bentuk adalah hasil dari pergulatan kemampuan manusia untuk mewujudkan makna dari ke-ekspresif-an yang benar dan kualitas kreatifitasnya.
Upaya manusia dalam mewujudkan bentuk yang berharga merupakan kerja dari pendayagunaan pikiran dan perasaan. Oleh karenanya perwujudan bentuk juga menyangkut logika dan emosi. Aspek emosional merupakan hasil pengolahan mental yang teraktualisasikan dalam tindakan. Aspek logika adalah rsionalitas pikiran yang eksitensinya terbit dari berbagai pengalaman dan pikiran. Sebuah bentuk selain memiliki nilai emosional juga harus bisa mengangkat aspek logika. Manusia meyelesaikan berbagai permasalahan hidupnya dari masa pra sejarah hingga modern kontemporer dengan logika yang rasional. Salah satu elemen bagi penyelesaian masalah tersebut adalah dengan pengguanaan bentuk. Oleh karenanya pula bentuk juga harus bisa dilogikakan. Namun demikian perlu dimengerti bahwa jika menyangkut manusia dan makhluk hidup, maka logika ini tidak demikian sederhana. Benda organik memiliki kerumitan logika tinggi dengan berbagai penyelesaian masalah untuk dapat bertahan hidup yang bisa dipandang tidak logis jika ditelaah secara sederhana saja. Menghubungkan satu logika dengan logika lain merupakan upaya yang baik untuk memahami bentuk yang berkaitan dengan benda organis. Ketepatan dalam perhubungan ini juga membutuhkan pemikiran dan pengalaman yang tidak sedikit.
Masih banyak hal lain yang perlu dibuka tabirnya berkaitan dengan eksistensi bentuk aristektur. Perhubungan dengan fungsi menjabarkan bentuk dalam kesadaran manusia beraktifitas . Perhubungan dengan warna membuat bentuk dipengaruhi makna dannpertumbuhan budaya. Perhubungan dengan ruang mempertegas bentuk sebagai batas dan isi. Perhubungan dengan teori menyebabkan bentuk diterjemahkan dalam berbagai rumusan filsafati. Perhubungan dengan tradisi mempertanyakan penciptaan bentuk kreatif dari rumusan yang dilakukan secara turun-temurun. Masih bisa disimak lagi berbagai perhubungan bentuk dengan fenomena-fenomena yang ada di dalam kehidupan manusia
Pemahaman tentang bentuk merupakan aktualisasi dari kegiatan analisis terhadap bentuk. Kegiatan ini dapat dimulai dengan mengambil contoh bentuk yang paling sempurna di alam semesta sebagai hasil karya Sang pencipta. Contoh bentuk alam yang mudah diambil adalah sebuah bunga. Bunga yang yang sederhana merupakan interpretasi bentuk yang menyatakan komunikasinya dengan semesta. Bunga merupakan benda transisi kosmis yang berhubungan dengan matahari, hujan, angin, dan lain-lain. Bentuk bunga mencerminkan upayanya menetapkan kekuatan diri secara fisik untuk kehidupan. Bentuk bunga juga mengekspresikan hubungannya dengan makhluk alam lain seperti burung, serangga dan termasuk juga manusia.
Manusia berapresiasi dengan bentuk menggunakan indera fisik dan eksistensi mentalnya. Oleh karena itu selayaknya perwujudan bentuk oleh manusia juga membawa sifat fisik dan mental. Dalam mengapresiasi bentuk, manusia memiliki kemampuan intelektual dan intuisi. Kemampuan ini memiliki sifat yang berbanding terbalik, artinya jika intelektual kuat, maka intuisi melemah, dan demikian pula sebaliknya. Agar dapat menghasilkan bentuk yang baik, manusia perlu mendayagunakan dua kekuatan yang berseberangan ini untuk berkarya dan berapresiasi. Dunia yang serba rasional telah banyak mengunggulkan intelektualitas, padahal di sisi lain terdapat potensi intuisi, naluri dan imajinasi. Intuisi berguna untuk menyatakan hubungan dengan realita dasar dan kebenaran. Naluri berguna untuk merekam aspek mental kehidupan. Imajinasi berguna untuk menghasilkan ide dan gambaran mental melalui pengembangan fantasi. Demikian besarnya potensi manusia hingga penciptaan karya bentuknya yang paling optimal dapat berpengaruh terhadap ruang dan waktu.
Daya cipta manusia terhadap waktu dipengaruhi pemahaman terhadap masa lalu, kini dan yang akan datang. Masa lalu dan kini adalah rentang waktu yang bisa dipahami, tetapi tidak demikian dengan masa yang akan datang. Penelusuran bentuk dipahami sebagai hasil dari perjalanan hidup di masa kini dan pebelajaran dari masa lalu. Masa depan hanyalah gambaran maya yang baru dapat dirasakan ketika manusia menjalani waktu. Saat menjalani waktu itulah, masa depan menjadi masa kini. Arsitektur merupakan salah satu contoh karya bentuk yang dapat digunakan untuk memahami rentang waktu tersebut. Arsitektur percandian merupakan hasil perjalanan hidup di masa kerajaan kuno, arsitektur jengki juga merupakan hasil perjalanan hidup di masa pasca kemerdekaan. Masyarakat dan arsitek lebih dapat berapresiasi dengan bentuk sesuai jamannya saat manusia menggali pengetahuan dan memperkaya pemahamannya dengan permasalahan di masa kini. Memahami azas bentuk di masa kini adalah tolok ukur penting bagi keberhasilan penciptaan karya.
Memahami penciptaan bentuk ditujukan untuk dapat menghasilkan karya yang berkualitas. Tolok ukur kualitas yang baik dari sebuah karya bentuk adalah hasil ekplorasi dari penggalian nilai moral dan nilai kreatif. Pengalian tersebut mengacu pada tujuan bagi tercapainya kebenaran bentuk. Sebuah kebenaran bentuk berhubungan dengan ekspresi manusia yang mewujudkanya. Hubungan antara ekspresi dan maksud tampilan bentuk inilah yang menjadi tinjauan untuk menancapkan karakter dan rasa. Nilai masyarakat yang berupaya memahami kualitas kedalaman kehidupan dan tingginya kebutuhan spiritual akan menghasilkan karya-karya bentuk yang mencerminkan keagungan alam. Sebaliknya nilai masyarakat yang berupaya untuk mempertingi eksistensi komersialpun juga akan dapat tampil dalam perwujudan karya bentuk yang efisien, efektif, trendy dan popular. Menjadi tidak benar jika pencipta bentuk yang memegang prinsip nilai komersial kemudian mewujudkan bentuk apa adanya yang ditujukan untuk ekspresi tingginya kehidupan dan spiritual dalam representasi keagungan alam. Pegangan dari kebenaran penciptaan bentuk adalah hasil dari pergulatan kemampuan manusia untuk mewujudkan makna dari ke-ekspresif-an yang benar dan kualitas kreatifitasnya.
Upaya manusia dalam mewujudkan bentuk yang berharga merupakan kerja dari pendayagunaan pikiran dan perasaan. Oleh karenanya perwujudan bentuk juga menyangkut logika dan emosi. Aspek emosional merupakan hasil pengolahan mental yang teraktualisasikan dalam tindakan. Aspek logika adalah rsionalitas pikiran yang eksitensinya terbit dari berbagai pengalaman dan pikiran. Sebuah bentuk selain memiliki nilai emosional juga harus bisa mengangkat aspek logika. Manusia meyelesaikan berbagai permasalahan hidupnya dari masa pra sejarah hingga modern kontemporer dengan logika yang rasional. Salah satu elemen bagi penyelesaian masalah tersebut adalah dengan pengguanaan bentuk. Oleh karenanya pula bentuk juga harus bisa dilogikakan. Namun demikian perlu dimengerti bahwa jika menyangkut manusia dan makhluk hidup, maka logika ini tidak demikian sederhana. Benda organik memiliki kerumitan logika tinggi dengan berbagai penyelesaian masalah untuk dapat bertahan hidup yang bisa dipandang tidak logis jika ditelaah secara sederhana saja. Menghubungkan satu logika dengan logika lain merupakan upaya yang baik untuk memahami bentuk yang berkaitan dengan benda organis. Ketepatan dalam perhubungan ini juga membutuhkan pemikiran dan pengalaman yang tidak sedikit.
Masih banyak hal lain yang perlu dibuka tabirnya berkaitan dengan eksistensi bentuk aristektur. Perhubungan dengan fungsi menjabarkan bentuk dalam kesadaran manusia beraktifitas . Perhubungan dengan warna membuat bentuk dipengaruhi makna dannpertumbuhan budaya. Perhubungan dengan ruang mempertegas bentuk sebagai batas dan isi. Perhubungan dengan teori menyebabkan bentuk diterjemahkan dalam berbagai rumusan filsafati. Perhubungan dengan tradisi mempertanyakan penciptaan bentuk kreatif dari rumusan yang dilakukan secara turun-temurun. Masih bisa disimak lagi berbagai perhubungan bentuk dengan fenomena-fenomena yang ada di dalam kehidupan manusia
Pemahaman Estetika
Istilah ‘estetika’ di abad ke 17 diperkenalkan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten, melalui buku yang berjudul ‘Aesthetica Acromatica’ (1750). Ada dua bagian estetika yaitu secara deskriptif dan normatif. Estetika deskriptif menguraikan dan menggambarkan tentang fenomena pengalaman keindahan, sedangkan estetika normatif mempersoalkan penyelidikan hakikat, dasar dan ukuran pengalaman keindahan. Aspek-aspek keindahan (beauty) inilah yang sangat berperan di dalam estetika hingga membedakannya dengan aspek-aspek seni (art).
Estetika (aesthetic) perlu dibedakan dengan artistika (artistic) dari sifat dasar yang mempengaruhi daya cipta manusianya. Estetika memilliki sifat obyektif kontekstual, sedangkan seni memiliki sifat subyektif. Arti dari ‘obyektif kontekstual’ bahwa estetika bersifat obyektif, namun bukan obyektif murni untuk semua sudut pandang. Estetika memiliki obyektifitas tertentu bagi manusia yang menilai dalam sudut pandang sama. Seseorang yang menyukai sudut pandang tradisional hampir pasti akan berbeda apresiasi estetikanya dengan seseorang yang menyukai sudut pandang modern. Seseorang yang menyukai hal-hal atraktif dinamis juga akan berbeda apresiasi estetikanya dengan seseorang yang menyukai hal-hal laras dan tenang. Pandangan estetika Barat juga berbeda dengan estetika Asia. Budaya estetik masyarakat empat musim juga berbeda dengan budaya estetik masyarakat dua musim. Alam lingkungan ternyata mempengaruhi pandangan estetik sekelompok masyarakat dengan karakteristik yang spesifik.
Kedinamisan dan keselarasan bentuk alam merupakan pemandangan mutlak yang membawa nilai estetika bagi manusia. Komposisi dan proporsi yang tercapai dari paduan antara gunung, jajaran pepohonan dan hamparan rumput selalu membawa rasa yang menyenangkan bagi manusia. Padang pasir yang luas dan gersang memiliki keindahan dari tiggi-rendahnya perbukitan dengan garis-garis hasil goresan angin. Lautan yang luaspun tidak terlihat membosankan karena berpadu dengan lekuk keindahan awan di atasnya. Saat-saat transisi di mana matahari terbit diwaktu pagi, atau tenggelam di kala senja demikian eksotis mempengaruhi jiwa manusia. Dalam mengungkapkan rasa estetiknya, manusia berusaha meniru alam dan menjadikannya karya-karya yang bersifat imitatif. Baik Plato maupun Aristoteles sependapat bahwa karya estetik merupakan tiruan dari alam dan kehidupan manusia. Seluruh fenomena alam telah mempengaruhi manusia hingga terbit pemahamannya akan kekuasaan yang lebih tinggi darinya. Luasnya alam semesta dan berbagai keunikan bentuk yang mengisinya merupakan limpahan rahmat bagi manusia untuk dinikmati.
Untuk mensyukuri apa yang telah didapatkan di dunia dengan limpahan keindahan alam semesta tersebut, manusia menyampaikannya dengan berbagai penciptaan bentuk. Semenjak manusia hanya menggunakan alam dengan tingal di dalam gua dan berburu, goresan dan pahatan sederhana tentang rasa syukur ditorehkan di dinding tempatnya tinggal. Selanjutnya manusia menyusun dan memahat batu di luar gua sebagai peringatan dan tempat bagi pengucapan rasa syukur tersebut. Ketika manusia mulai menggunakan elemen alam untuk tempat tinggalnya dengan tanah, batu dan kayu; berbagai keindahan dan pengucapan rasa syukur membuat perwujudan bentuk yang beraneka-ragam. Agustinus (354-430) mengajarkan bahwa keindahan merupakan salah satu bentuk yang ada dalam kekuasan Sang pencipta. Bentuk-bentuk menjulang didasari dengan penghargaan terhadap penguasa alam semesta yang berada di atas langit. Ukiran-ukiran tertentu merefleksikan sosok penguasa alam semesta yang dipuja. Tatanan dan orientasi bangunan juga diatur dalam rangka penghargaan kepada sesuatu Yang Maha Tinggi. Ecara berkelompok, manusia memiliki keyakinan tertentu terhadap cara menghargai Sang pencipta. Dengan hubungan kemasyarakatan ini tumbuh budi dan daya manusia yang bersinggungan pula dengan kebersamaan sosial di dalam komunitasnya.
Kebersamaan sosial manusia telah membuat kesepakatan adat dan mempengaruhi kekhas-an penciptaan bentuk beserta ciri keindahan yang spesifik. Estetika pada saat tersebut mulai diarahkan pada hubungan antara satu manusia dengan manusia lainnya. Keceriaan dalam pengukiran dan pewarnaan elemen bangunan ditujukan untuk menyambut orang yang bertamu. Penyediaan beranda dan halaman yang luas digunakan sebagai tempat yang berfungsi untuk menampung banyak orang. Kemegahan tampilan dan perbesaran skala bangunan ditujukan dalam rangka menampilkan status sosial yang tinggi dari pemilik bangunan. Segenap penghayatan keindahan dihubungkan dengan penampilan jati diri dan komunikasi manusia. Manusia telah menjadi subyek dan obyek bagi keindahan. David Hume (1711-1776) menyatakan bahwa keindahan sangat ditentukan oleh sifat manusia yang dipengaruhi oleh kebiasaan dan jati dirinya. Imanuel Kant (1724-1804) menganggap bahwa keindahan memberi fokus yang amat dibutuhkan untuk menjembatani segi-segi teori dan praktek sifat dasar manusia. Teknologi yang semakin berkembang menjadi sebuah peluang bagi aktualisasi pengungkapan jati diri tersebut. Berbagai sifat prinsip dari pemilik bangunan maupun perancangnya tampil secara ekspresif melalui pencapaian pengetahuan produksi bentuk dari elemen-elemen arsitektur.
Eksploitasi alam telah menghasilkan produk-produk yang menunjukkan tingginya kemampuan manusia. Penemuan bahan kaca dan baja telah merubah pandangan estetik dalam perwujudan arsitektur menjadi semakin efektif dan efisien. Penemuan ini juga telah membuat rekayasa struktur yang mampu menampilkan besaran bangunan jauh melebihi skala manusia. Keindahan alam telah dapat diubah oleh manusia dengan keindahan hasil kemajuan teknologi. Kota-kota besar dengan berbagai gedung pencakar langit merupakan representasi lingkungan modern yang demikian maju. Modernitas ini kemudian memunculkan nilai estetika lain yang berorientasi pada individualitas. Sebuah karya estetik menjadi ternilai dari ekspresi individu yang memiliki kemampuan mengungkapan pandangan-pandangannya.John dewey (1859-1952) mengatakan bahwa estetika demikian terpaut dengan kehidupan manusia. Pandangan ini diperkuat dengan pernyataan George Santayana (1863-1952) yang menyatakan bahwa keindahan tidak bersifat obyektif dan identik dengan kesenangan yang dialami manusia, sebuah rasa yang diobyektifkan dan diproyeksikan ke dalam obyek karya.
Secara individual manusia memiliki pemikiran-pemikiran tertinggi tentang idealisme. Benedetto Croce (1866-1952) menghubungkan idealisme manusia dengan intuisi. Menurutnya intuisi adalah gambar yang berada di dalam pikiran manusia, oleh karenanya hasil keindahan juga ditentukan oleh gambaran tersebut. Sebuah karya merupakan alat bantu manusia dalam mengungkapkan sesuatu yang terdapat di dalam pikirannya. Clive Bell (1851-1964) mempopulerkan gagasannya tentang perasaan estetis (aesthetic emotion). Perasaan estetis dibedakan dengan perasaan biasa ketika manusia menjalani kehidupan sehari-hari. Perasaan estetis muncul dan dicari dari pengalaman ketika seseorang berhadapan dengan sesuatu yang sangat berarti.
Estetika (aesthetic) perlu dibedakan dengan artistika (artistic) dari sifat dasar yang mempengaruhi daya cipta manusianya. Estetika memilliki sifat obyektif kontekstual, sedangkan seni memiliki sifat subyektif. Arti dari ‘obyektif kontekstual’ bahwa estetika bersifat obyektif, namun bukan obyektif murni untuk semua sudut pandang. Estetika memiliki obyektifitas tertentu bagi manusia yang menilai dalam sudut pandang sama. Seseorang yang menyukai sudut pandang tradisional hampir pasti akan berbeda apresiasi estetikanya dengan seseorang yang menyukai sudut pandang modern. Seseorang yang menyukai hal-hal atraktif dinamis juga akan berbeda apresiasi estetikanya dengan seseorang yang menyukai hal-hal laras dan tenang. Pandangan estetika Barat juga berbeda dengan estetika Asia. Budaya estetik masyarakat empat musim juga berbeda dengan budaya estetik masyarakat dua musim. Alam lingkungan ternyata mempengaruhi pandangan estetik sekelompok masyarakat dengan karakteristik yang spesifik.
Kedinamisan dan keselarasan bentuk alam merupakan pemandangan mutlak yang membawa nilai estetika bagi manusia. Komposisi dan proporsi yang tercapai dari paduan antara gunung, jajaran pepohonan dan hamparan rumput selalu membawa rasa yang menyenangkan bagi manusia. Padang pasir yang luas dan gersang memiliki keindahan dari tiggi-rendahnya perbukitan dengan garis-garis hasil goresan angin. Lautan yang luaspun tidak terlihat membosankan karena berpadu dengan lekuk keindahan awan di atasnya. Saat-saat transisi di mana matahari terbit diwaktu pagi, atau tenggelam di kala senja demikian eksotis mempengaruhi jiwa manusia. Dalam mengungkapkan rasa estetiknya, manusia berusaha meniru alam dan menjadikannya karya-karya yang bersifat imitatif. Baik Plato maupun Aristoteles sependapat bahwa karya estetik merupakan tiruan dari alam dan kehidupan manusia. Seluruh fenomena alam telah mempengaruhi manusia hingga terbit pemahamannya akan kekuasaan yang lebih tinggi darinya. Luasnya alam semesta dan berbagai keunikan bentuk yang mengisinya merupakan limpahan rahmat bagi manusia untuk dinikmati.
Untuk mensyukuri apa yang telah didapatkan di dunia dengan limpahan keindahan alam semesta tersebut, manusia menyampaikannya dengan berbagai penciptaan bentuk. Semenjak manusia hanya menggunakan alam dengan tingal di dalam gua dan berburu, goresan dan pahatan sederhana tentang rasa syukur ditorehkan di dinding tempatnya tinggal. Selanjutnya manusia menyusun dan memahat batu di luar gua sebagai peringatan dan tempat bagi pengucapan rasa syukur tersebut. Ketika manusia mulai menggunakan elemen alam untuk tempat tinggalnya dengan tanah, batu dan kayu; berbagai keindahan dan pengucapan rasa syukur membuat perwujudan bentuk yang beraneka-ragam. Agustinus (354-430) mengajarkan bahwa keindahan merupakan salah satu bentuk yang ada dalam kekuasan Sang pencipta. Bentuk-bentuk menjulang didasari dengan penghargaan terhadap penguasa alam semesta yang berada di atas langit. Ukiran-ukiran tertentu merefleksikan sosok penguasa alam semesta yang dipuja. Tatanan dan orientasi bangunan juga diatur dalam rangka penghargaan kepada sesuatu Yang Maha Tinggi. Ecara berkelompok, manusia memiliki keyakinan tertentu terhadap cara menghargai Sang pencipta. Dengan hubungan kemasyarakatan ini tumbuh budi dan daya manusia yang bersinggungan pula dengan kebersamaan sosial di dalam komunitasnya.
Kebersamaan sosial manusia telah membuat kesepakatan adat dan mempengaruhi kekhas-an penciptaan bentuk beserta ciri keindahan yang spesifik. Estetika pada saat tersebut mulai diarahkan pada hubungan antara satu manusia dengan manusia lainnya. Keceriaan dalam pengukiran dan pewarnaan elemen bangunan ditujukan untuk menyambut orang yang bertamu. Penyediaan beranda dan halaman yang luas digunakan sebagai tempat yang berfungsi untuk menampung banyak orang. Kemegahan tampilan dan perbesaran skala bangunan ditujukan dalam rangka menampilkan status sosial yang tinggi dari pemilik bangunan. Segenap penghayatan keindahan dihubungkan dengan penampilan jati diri dan komunikasi manusia. Manusia telah menjadi subyek dan obyek bagi keindahan. David Hume (1711-1776) menyatakan bahwa keindahan sangat ditentukan oleh sifat manusia yang dipengaruhi oleh kebiasaan dan jati dirinya. Imanuel Kant (1724-1804) menganggap bahwa keindahan memberi fokus yang amat dibutuhkan untuk menjembatani segi-segi teori dan praktek sifat dasar manusia. Teknologi yang semakin berkembang menjadi sebuah peluang bagi aktualisasi pengungkapan jati diri tersebut. Berbagai sifat prinsip dari pemilik bangunan maupun perancangnya tampil secara ekspresif melalui pencapaian pengetahuan produksi bentuk dari elemen-elemen arsitektur.
Eksploitasi alam telah menghasilkan produk-produk yang menunjukkan tingginya kemampuan manusia. Penemuan bahan kaca dan baja telah merubah pandangan estetik dalam perwujudan arsitektur menjadi semakin efektif dan efisien. Penemuan ini juga telah membuat rekayasa struktur yang mampu menampilkan besaran bangunan jauh melebihi skala manusia. Keindahan alam telah dapat diubah oleh manusia dengan keindahan hasil kemajuan teknologi. Kota-kota besar dengan berbagai gedung pencakar langit merupakan representasi lingkungan modern yang demikian maju. Modernitas ini kemudian memunculkan nilai estetika lain yang berorientasi pada individualitas. Sebuah karya estetik menjadi ternilai dari ekspresi individu yang memiliki kemampuan mengungkapan pandangan-pandangannya.John dewey (1859-1952) mengatakan bahwa estetika demikian terpaut dengan kehidupan manusia. Pandangan ini diperkuat dengan pernyataan George Santayana (1863-1952) yang menyatakan bahwa keindahan tidak bersifat obyektif dan identik dengan kesenangan yang dialami manusia, sebuah rasa yang diobyektifkan dan diproyeksikan ke dalam obyek karya.
Secara individual manusia memiliki pemikiran-pemikiran tertinggi tentang idealisme. Benedetto Croce (1866-1952) menghubungkan idealisme manusia dengan intuisi. Menurutnya intuisi adalah gambar yang berada di dalam pikiran manusia, oleh karenanya hasil keindahan juga ditentukan oleh gambaran tersebut. Sebuah karya merupakan alat bantu manusia dalam mengungkapkan sesuatu yang terdapat di dalam pikirannya. Clive Bell (1851-1964) mempopulerkan gagasannya tentang perasaan estetis (aesthetic emotion). Perasaan estetis dibedakan dengan perasaan biasa ketika manusia menjalani kehidupan sehari-hari. Perasaan estetis muncul dan dicari dari pengalaman ketika seseorang berhadapan dengan sesuatu yang sangat berarti.
Selasa, 25 Agustus 2009
Minggu, 23 Agustus 2009
Pengertian Apresiasi Arsitektur
Kata apesiasi berasal dari bahasa Inggris ‘appreciation’ dengan penterjemahan sebagai ‘appraisement’ (penilaian harga), ‘generous esteem’ (penghargaan yang sangat tinggi), ‘a symphatetic literary essay’ (karya tulis yang penuh perhatian), ‘increase in value’ (peningkatan nilai). Secara umum, apresiasi diterjemahkan sebagai penilaian atau penghargaan terhadap sesuatu. Jadi apresiasi arsitektur berarti : penilaian atau penghargaan terhadap arsitektur. Untuk dapat menilai dan menghargai arsitektur, tentunya perlu modal pengetahuan yang tidak sederhana. Ketidak sederhanaan pengetahuan ini setara dengan kerumitan yang melekat pada arsitektur itu sendiri. Selain ilmu, seseorang yang berapresiasi dengan arsitektur membutuhkan alat, yaitu segenap indera yang dimiliki dan paling memungkinkan untuk digunakan dalam menilai atau menghargai arsitektur.
Indera manusia yang berhubungan dengan arsitektur terbagi menjadi berbagai kelompok, yaitu indera pelihat, pendengar, pencium dan peraba. Dengan penglihatan dapat dirasakan nuansa ruang dan dinamisitas bentuk arsitektur, pendengaran dan penciuman turut serta memperkuat ke-khasan arsitektur, sedangkan perabaan selain memperjelas ketajaman tekstur juga untuk merasakan suhu dan kelembaban tertentu. Menikmati arsitektur tidak hanya dapat dilakukan dengan melihat gambar-gambar saja, namun perlu diserap ke dalam segenap budi dan daya tubuh hingga muncul berbagai apresiasi. Karena menyangkut budi daya manusia itulah maka sebuah karya arsitektur harus dapat diapresiasi unsur estetikanya.
Estetika merupakan salah satu faktor penting dalam perwujudan arsitektur yang telah diteliti oleh berbagai filsuf selama berabad-abad. Perdebatan mengenai estetika berkenaan dengan rasa akan keindahan. Sesuatu yang estetis juga memiliki konteks tertentu berkaitan dengan sudut pandang orang yang berapresiasi. Pandangan estetik dari masyarakat dalam lingkungan tropis tentu akan berbeda dengan masyarakat yang tinggal di daerah dengan iklim 4 musim. Pandangan estetik dari masyarakat agraris juga akan berbeda dengan masyarakat industrialis. Setiap konteks memiliki cara tertentu dalam menampilkan estetika dan menrealisasikannya ke dalam sebuah karya. Karya realis yang paling mudah dirasakan adalah fenomena yang menyangkut bentuk.
Bentuk arsitektur dipahami sebagai wujud dari sebuah fenomena penciptaan tempat bagi manusia untuk berbudaya. Bentuk merupakan gubahan hasil pemikiran manusia dalam mengelola bahan alam sehingga menghasilkan perwujudan yang khas. Masyarakat primordial menggubah gua-gua alam menjadi tempat yang layak ditinggali. Masyarakat vernakular menggubah elemen alam dengan kesederhanaannya agar dapat digunakan sebagai pelingung kegiatan manusia, masyarakat tradisional memberi sentuhan adat dan budaya dari unsur alam dengan segala kebijakannya. Masyarakat modern melakukan inovasi teknologi untuk dapat mendayagunakan unsur alam menjadi lebih efektif dan efisien. Dalam dunia modern yang kita alami sekarang, faktor industri telah mempengaruhi penciptaan karya arsitektur dengan segala keterukurannya. Berkembangnya keterukuran bentuk dari pengetahuan bangsa Yunani menghasilkan ilmu geometri yang berpengaruh besar bagi modernisasi.
Geometri adalah perayaan kemenangan manusia dalam menguasai bentuk. Segala rumusan dan keteraturan dapat dicari hingga menciptakan ketetapan yang mempermudah kegiatan manusia dalam berarsitektur. Degan adanya geometri, sebuah bentuk dapat dihitung hingga menghasilkan perwujudan yang dapat dipertanggung jawabkan secara struktural. Perhitungan struktur ini menyebabkan perkembangan teknologi yang menginovasi penciptaan bentuk arsitektur secara lebih radikal, baik dari skala dan bentangannya. Teknologi inilah yang membuat arsitektur pada saat ini tidak pernah terlepas dari logika struktur dan konstruksi, bahkan aktualisasi perpaduan antara struktur/konstruksi dan keindahan dalam bentuk tektonik menjadi sebuah pembahasan tersendiri yang cukup menarik.
Tektonika merupakan hasil budaya manusia dalam memahami arsitektur dan memadukannya dengan teknologi struktur dan konstruksi. Hunian bagi manusia diawali dengan memanfaatkan potensi alam dari gua-gua di pegunungan, kemudian perkembangan pengetahuannya menyebabkan manusia membuat tempat tinggal dengan dari bahan kayu maupun tanah. Semakin berkembangnya pengetahuan manusia menyebabkan budaya yang menyentuh elemen hunian dengan unsur estetika. Berbagai teknik sambungan konstruksi dan bentuk struktur ditemukan hingga memperkaya kazhanah arsitektur di dunia. Terciptalah bentuk-bentuk arsitektur dengan keanekaragamannya. Bentuk tersebut mewujudkan pernaungan yang bukan hanya sekedar layak untuk ditinggali, namun lebih dari itu juga mampu meningkatkan harkat kehidupan manusia dalam berbudaya. Bentuk-bentuk tersebut telah memberi manusia tempat dalam melakukan kehidupan sehari-hari yang disebut dengan ‘ruang’.
Ruang adalah materi yang dapat berpadu dengan kegiatan manusia. Materi yang tidak dapat berpadu disebut sebagai ‘batas ruang’ (enclosure). Setiap ruang yang dibuat akan memiliki karakteristik tertentu. Budaya manusia telah menetapkan ruang dalam penggolongan dan pemahamannya sendiri. Ruang bagi masyarakat empat musim dipandang sebagai sebuah kekosongan yang diciptakan tersendiri agar manusia dapat beraktifitas tanpa terganggu ganasnya alam. Ruang bagi masyarakat dua musim merupakan pengejawantahan rasa syukur dan lebur dengan alam semesta. Kebudayaan telah membawa manusia memahami ruang dengan pikir dan rasa yang tinggi, bahkan kebudayan tersebut telah menciptakan arti tersendiri dari arsitektur yang dipahami dengan keberadaan ‘makna’.
Makna arsitektur dicari dalam proses perancangan dan diungkapkan dalam pembicaraan yang penuh perhatian. Perhatian ini secara khusus terlingkup dalam paham fenomenologi, di mana sebuah proses perancangan dibawa kepada ekspresi murni yang menggambarkan arti konsep esensi dan formula yang mengaturnya. Esensi membuat arsitektur dapat dikenali dalam intuisi yang berhubungan dengan akar murni dalam realisme pembuktian diri yang asli. Aktualisasinya dengan cara ‘membuat kembali’ dan ‘kembali kepada basis’. Paham fenomenologi ternyata bukanlah satu-satunya tolok ukur dalam menilai kebenaran arsitektur. Beberapa paham lain juga perlu dipelajari agar apresiasi dapat berjalan secara obyektif. Paham-paham tersebut dalam sejarah telah mengisi berbagai pemikiran dunia tentang arsitektur yang terdefinisikan melaui ebrbagai filsafat.
Filsafat merupakan sebuah ilmu pengetahuan kuno yang telah dikembangkan sejak beberapa abad sebelum masehi. Banyak filsuf menghasilkan pemikiran-pemikiran yang mempengaruhi pengambilan keputusan, termasuk di dalam arsitektur. Sejak awal perkembangannya pemahaman tentang arsitektur dipengaruhi filsafat tradisional barat, kemudian dalam era modern muncul filsafat-filsafat baru yang cukup deras. Paham rasionalis mempengaruhi cara pandang terhadap arsitektur agar dapat terwujud dengan logika. Paham empiris merupakan pemikiran yang mengarahkan arsitektur agar dapat terwujud dari keberhasilan kegiatan percobaan. Paham strukturalis berusaha mencari kembali makna kehadiran arsitektur sebagai sebuah sistem. Paham pragmatis menetapkan bahwa arsitektur selayaknya dibuat berdasarkan model. Paham fenomenologi memandang pengalaman sebagai aspek penting dalam berarsitektur. Paham intuitif melihat pentingnya rasa dari seorang arsitek dalam mewujudkan karya. Setiap paham memiliki sudut pandang tersendiri dalam menilai dan mewujudkan arsitektur. Paham-pahm tersebut berguna sebagai pegangan dalam menilai karya arsitektur baik dariperwujudannya maupun konsepnya. Perwujudan merupakan aspek teraga (tangibe), sedagkan konsep merupakan aspek yang tidak teraga (intangible).
Aspek tangible dan intangible telah mewarnai perwujudan arsitektur berdasarkan sudut pandang yang digunakan oleh arsitek. Seseorang yang ingin berapresiasi dengan karya arsitek tertentu selayaknya menempatkan diri dalam sudut pandang yang sama dengan arsitektnya. Seorang arsitek yang menghasilkan karya dengan aspek tangible dalam sudut pandang struktural tentu tidak akan dapat diapresiasi oleh seseorang dengan penilaian intangible yang berada dalam sudut pandang eksotisme. Seseorang yang selalu berapresiasi dengan penilaian intangible dalam sudut pandang paradoksial (perlawanan azas) juga tidak akan pernah dapat melakukan apresiasi secara tepat pada karya arsitektur yang menggunakan aspek tangible olah geometri. Demikianlah pentingnya sudut pandang sebagai konteks yang harus dipegang secara bersama antara karya arsitektur dan orang yang berapresiasi dengannya. Setiap orag memiliki pemikiran tersndiri dalam menilai yang dipengaruhi oleh pandangan-pandangan tertentu. Segenap pandangan manusia terjabarkan dalam permasalahan yangmenyakngkut ‘persepsi’.
Persepsi adalah proses memperoleh atau menerima informasi dari lingkungan. Persepsi dari sebuah apresiasi arsitektur tidak hanya terpengaruh indera manusia, namun juga penafsiran pengalamnnya (the interpretation of experience). Ketika seseorang berapresiasi dengan arsitektur, maka secara psikologis terjadi sebuah stimulus (rangsangan). Individu menjadi sadar akan adanya stimuli melalui sel saraf reseptor (indera). Jika sejumlah penginderaan dikoordinasikan dalam pusat saraf yang lebih tinggi (otak) maka manusia bisa mengenali dan berapresiasi dengan sebuah obyek arsitektur. Dalam proses pemikiran yang lebih lanjut individu akan mencari hubungan obyek dengan suatu gejala atau peristiwa. Seseorang yang berapresiasi dengan hasil karya arsitek perlu untuk memiliki persepsi yang sama dari hasil pembelajaran pengalaman-pegalaman manusia. Keselarasan persepsi itulah yang akan menjadi tolok ukur keberhasilan desain arsitektur. Jika persepsi tidak selaras, maka bisa dimungkinkan tujuan desain akan berbeda dengan segala sesuatu yang dialami oleh penguna. Untuk menilai pengalaman perseptual dan berbagai fenomena arsitektur lainnya perlu dilakukan pembelajaran melalui evaluasi karya arsitektur yang telah digunakan.
Evaluasi terhadap karya arsitektur yang telah dipakai biasa disebut dengan ‘post occupancy evaluation’ (evaluasi pasca huni). Kegiatan ini didefinisikan sebagai pengujian efektifitas sebuah lingkungan binaan bagi kebutuhan manusia. Pengujian dalam evaluasi pasca huni diarahkan pada penilaian terhadap efektifitas arsitekturnya sendiri maupun efektifitas program dan tujuan dirancangnya arsitektur etrhadap kebutuhan pengguna. Kegiatan yang menyangkut evaluasi pasca huni dapat berupa eksperimen, studi lapangan, studi teoritis dan penelitian aplikatif.
Rabu, 05 Agustus 2009
Langganan:
Postingan (Atom)